Saya telah ngekos selama puluhan tahun di kota-kota berbeda. Semua itu pada akhirnya telah menjadikan saya sebagai anak kos yang tangguh, pandai bertahan hidup bahkan pada akhir bulan ketika kiriman uang telat datangnya.
Pertama ngekos di Genteng, sebuah kota kecamatan di Banyuwangi. Kemudian di Surabaya. Waktu itu masih culun jadi belum bisa memasak sendiri. Makan beli di warung, sehari tiga kali. Menunya bervariasi tergantung duitnya. Tetapi dari semua itu, selalu saja saya mendapatkan seporsi nasi penuh sampai hampir tumpah dari piringnya namun dengan lauk dan sayur yang saking sedikitnya sampai hampir tak kelihatan.
Itu adalah masa-masa paling kelam dalam pemenuhan gizi tubuh. Padahal saya masih dalam masa pertumbuhan otak lho, kudu banyak bekerja dan belajar.
Selanjutnya seiring perjalanan hidup, saya ngekos di Denpasar. Di sini saya sudah mulai mau nguplek dapur karena waktu itu tidak merasa cocok dengan rasa masakan warung Bali, jadi kudu masak sendiri. Waktu itu belum ada internet jadi kalau ingin masak yang agak ribet seperti sayur kare, harus nelpon emak dulu tanya bumbunya apa saja, takarannya berapa, cara memasaknya bagaimana. Selalu seperti itu.
Terakhir saya ngekos di Flensburg, sebuah kota yang berada di ujung utara Jerman. Di sinilah saya benar-benar kalang kabut dalam hal makanan. Culture shock selama berbulan-bulan. Lidah jawa saya waktu itu mengatakan bahwa makanan bule ndak ada sedap-sedapnya samasekali. Sekarang, seiring berjalannya waktu dan juga karena nggeragas, lidah saya sudah mencla-mencle, sudah bisa dan mampu merasakan kelezatan makanan dari seluruh penjuru dunia. Bahkan saya mampu menikmati kelezatan tiada tara dari Camembert, jenis keju yang aromanya seperti bangkai tikus atau kaus kaki seminggu tidak dicuci!
It's all about survival instincts, gaes... Bulan-bulan pertama tinggal di Jerman membuat saya menderita dalam hal makanan. Saya selalu merindukan makanan Jawa. Jaman itu belumlah banyak online shop jadi secara berkala saya pergi ke Hamburg untuk belanja bumbu dan rempah segar agar bisa memasak sendiri.
Tetapi itu tidak banyak berguna karena saya terlalu sibuk sehingga tidak sempat masak. Atau malas karena terlalu ribet ngulek bumbu.
Maka secara perlahan saya modifikasi cara masak konvensional menjadi lebih praktis dan instan. Akhirnya saya mengganti semua rempah segar menjadi rempah bubuk. Perlu waktu bertahun-tahun untuk menemukan takaran dan cara memasak yang pas agar kelezatannya sama dengan masakan pakai rempah segar.
Dan inilah masterpiece saya, blog kumpulan resep masakan tradisional yang dimasak dengan cara cepat, simple dan praktis: Masakan Kosan.
Meskipun ini sebenarnya adalah terjemahan bebas dari blog serupa berbahasa Jerman yang telah populer.
Resep-resep dari blog ini sudah teruji kelezatannya lho, bukan oleh saya sendiri melainkan oleh para peserta kursus memasak masakan Indonesia yang saya adakan secara terjadwal dengan dukungan Volkshochschule di Jerman. Jadwalnya bisa kamu cek di sini.
Komentar
Posting Komentar